THIS IS ME

THIS IS ME

Selasa, 12 Februari 2019

Cerpen: The Elegy of Errors


"Jika bagimu tulisan tabu yang membosankan menarik perhatianmu, maka kusampaikan secarik kertas abu-abu yang kosong di dalam lacimu yang berdebu"
- Miku Harada


*** 


Selalu. Ada orang yang benar-benar diberi mukjizat besar, dimana dia selalu beruntung dalam hidupnya. Diberkati di lingkungan, sukses dalam karir, bahagia sentosa dalam percintaan, dicintai siapa saja. Tampan dan mapan.


Selalu. Sosok yang terlalu sempurna menimbulkan satu hal yang menjadi satu-satunya kegelisahan mereka.


Hidupnya terlalu membosankan.


***


"Sekian untuk hari ini." tutupnya seraya tersenyum. Membuat barisan rapi di rapat itu merekah puas. Mereka berhamburan keluar bersama bisikan-bisikan penuh kekaguman. Bos yang bijak lah, bos yang karismatik lah, dan blablabla lainnya yang justru membuat pemimpin rapat yang kini menghela napas panjang itu mengerutkan kening.


Baginya, hidup yang dijalaninya saat ini terlalu sempurna. Sampai titik di mana dia malah merasa jenuh dengan tak adanya tantangan berarti yang menggugah seleranya lagi.


"How boring..." gumamnya selalu setelah rapat kesuksesannya selesai. Dia terduduk di kursi kebesarannya. Menatap jengah ke depan. Ke arah bangku-bangku kosong yang berjejer-jejer rapi. Sore yang tenang. Lagi-lagi ia beruntung. Dia berhasil memperluas sahamnya, mendapatkan anjlokan pundi-pundi.


Baginya, sore itu biasa. Pagi juga biasa. Siang apalagi.


Malam. Dia selalu suka saat langit yang membosankan berubah gelap dan menyingkirkan matahari membosankan yang terus melengket di atas langit biru yang tak kalah membosankan.


Langit yang hitam adalah kesukaannya. Seolah-olah menggambarkan kesuraman sejati. Juga keputus-asaan yang selama ini tak pernah ia jumpai.


Kegagalan? Baginya kata berimbuhan itu tak pernah terapit di antara jutaan kata kesuksesan dalam kamusnya. Ia sudah mengupayakan segala hal agar ia bisa mencicipi pahitnya kegagalan, tapi selalu saja gagal. Apakah itu berarti ia gagal menggagalkan dirinya sendiri?


Kumpulan kalimat-kalimat filosofi selalu bergaung bagai lebah di kepalanya. Apakah dia sebenarnya orang yang gagal? Tapi mengapa ia tak pernah merasakan kekejaman hidup yang biasa dikeluhkan orang-orang?


Apakah dia adalah satu makhluk istimewa yang hanya saja, well, 'terlalu beruntung'?


***


"Kita putus saja." kata Shuu datar pada gadis cantik bak supermodel di depannya.


Gadis itu merengut manja, kemudian berdiri keluar dari sana setelah menampar pipi kiri pria bersetelan rapi itu.


Sekali lagi, Shuu-si-pria-beruntung itu tak merasakan apa-apa. Hanya helaan panjang yang lagi-lagi meluncur dari mulutnya. Matanya menatap jauh ke arah pintu kaca kafe. Yang kemudian membuat matanya membelalak tatkala sebuah mobil melaju menuju kafe tempatnya bersandar.


Mobil itu menabrak pintu itu dan Prank! Serpihan kaca berhamburan dimana-mana.


Mata bak elang itu fokus ke arah mobil yang berhenti tepat saat mulut mobilnya mencapai setengah dari kafe yang kini layaknya kapal pecah. Orang-orang menjerit, mengerang, meneriakkan ketakutan. Sementara beberapa dari mereka jatuh pingsan dengan serpihan kecil yang mendarat di tubuh-tubuh mereka.


Shuu Watanabe. Pria itu tak lecet sedikitpun. Hanya saja, ia baru saja tertampar oleh aksi si supir yang dengan lalai membuat semua kekacauan ini.


Betapa sialnya supir itu!


Lalu, seolah-olah semuanya melambat, si supir gila itu keluar dari balik stirnya.


Tawa Shuu langsung menyembur. Dia seorang gadis yang memakai helm balap yang sporty, plus pakaian ala pembalap pro.


Si cewek membuka helmnya. Membungkuk perlahan. Meminta maaf. Lalu adegan yang masih terasa lambat itu, membuat helaian rambut panjang itu menari-nari dengan indah. Wajahnya yang putih berseri. Alisnya yang merengut sedih.


Mata yang selegam langit malam yang disukainya.


"Gomennasai, minna!" serunya meminta maaf sedalam-dalamnya.


Waktu seperti berhenti seketika. Orang-orang yang mematung. Cangkir-cangkir yang tak usai terisi. Mulut-mulut menganga yang gagal marah.


Bagi Shuu, sosok di depannya itu seperti sebuah 'keputus-asaan' yang dicari-carinya selama ini.


"Ah sial! Lagi-lagi wanita sial itu! Berapa kali sih dia sudah mengacaukan makan siangku?" dengus orang di samping Shuu. Kemudian celotehan-celotehan semacamnya terus-menerus membentak keluar, membuat gadis cantik yang dihina itu membungkuk lebih dalam.


"Sumimasen!"


"Hei!"


Suara itu membuat si gadis berambut kecoklatan itu mengangkat wajah. Mimik penasaran yang menggugah.


"Hai?"


"Namamu?"


Si gadis perlahan-lahan tersenyum.


"Miku Harada. Orang-orang memanggilku 'The Unluckiest Girl in the World'!"


Hampir saja Shuu menjerit. Ini dia.


"Kau tahu luka-luka ini?" dia memamerkan perban-perban dan plester yang ada di tubuhnya.


"Semuanya karena kesialanku."


Shuu menelan ludah. Entah mengapa ada aliran deras yang tersebar ke seluruh tubuhnya.


Sebuah kehidupan. Benar-benar kehidupan hakiki.


"Dan hari ini lagi-lagi aku harus menguras tabunganku untuk membayar kerusakan...eh..." Miku mengedarkan pandangannya. Mata-mata yang menatap marah. Aura terkepung yang sama saat ia lagi-lagi terdamprat kesialan.


"...kerusakan ini." sambungnya malu-malu.


"Miku Harada..." panggil Shuu lembut.


"Ya?"


"Kau boleh menjadi istriku."


Semua mata membesar. Mulut-mulut yang menganga.


Gadis itu. Justru ia tertawa.


"Jangan menangis kalau kau terluka karenaku." katanya setelah tawa panjangnya yang mengheningkan suasana; hanya tawanya.


"Jadi jawabanmu?" Shuu mulai tak sabar. Gelitik yang semakin kencang di perutnya membuatnya ingin selalu tersenyum oleh ke-gregetan yang saat ini menenggelamkannya. Ia yakin dengan keberuntungannya yang tak habis-habis itu.


"Tiga kali yes untukmu, tuan...?"


"Shuu. Shuu Watanabe."


Lalu mereka sama-sama melempar senyum misterius.


***


"Kau beruntung, aku tak beruntung, hmm... apakah kau merasa, bahwa, kita seperti magnet yang memiliki dua kutub berlawanan?" kata Miku pagi itu dengan secangkir teh asin yang dihidangkannya pagi ini. Mereka resmi menjadi sepasang suami-istri. Dengan perhelatan royal wedding yang sukses. Tamu-tamu yang membeludak dan puas. Kemudian tak disangka-sangka, di tengah kemeriahan pesta, berkunjung beberapa teroris anti-komunis yang menembakkan peluru-peluru ke seluruh ruangan. Pernikahan mereka masuk berita sebagai upacara suci tersial sepanjang sejarah. Dengan ratusan korban jiwa yang tewas, dan korban luka-luka. Justru Shuu dan Miku selamat dari tragedi itu dengan zero cacat.


Setelah kejadian itu, Miku selalu membual tentang keberuntungan yang perlahan-lahan mendekatinya. Dan berkoar-koar tentang magnet yang bak dirinya dan Shuu.


"Magnet, ya?" tanggap Shuu seraya menyerup teh yang masih asin itu dengan senyum ceria.


Sekarang pagi kini menjadi kesukaannya, dengan berbagai bencana-bencana ciptaan Miku yang ditunggu-tunggunya.


Televisi yang tiba-tiba meledak. Jamuan makan pagi yang berantakan. Shower yang hanya meluncurkan air panas karena kerusakan internal. Besok apa lagi?


"Dan kita jadi terkenal." imbuh Miku bersama decakan lidah yang terdengar kesal.


"Kau tak suka menjadi terkenal?" Shuu menatap Miku yang masih mengenakan celemeknya itu lekat-lekat.


"Tidak terlalu." giliran Miku yang menyerup teh buatannya. Kemudian sekonyong-konyong menyemburkan teh itu keluar dari mulutnya. Asin!


"Sial!" dia buru-buru berdiri, berlari menuju westafel.


Shuu turut berdiri. Menuntun Miku yang tampaknya baru saja merusak keran air di westafel.


"Upss!"


Shuu tertawa. Ia ikut kebasahan. Miku membalikkan badannya. Menatap intens suaminya yang tampaknya sangat senang dengan kecelakaan-kecelakaan konyol pagi ini.


"Kau tahu Shuu? Hanya kau pria yang benar-benar bahagia denganku." nada itu terasa dalam. Malahan terdengar parau. Sudah berapa banyak kesialan yang wanita ini derita selama ini? Dan seberapa sialnya Shuu yang tak pernah merasakan itu?


"Aku langsung menerimamu waktu itu, karena kupikir, semuanya akan sama saja. Berakhir monoton, dimana pria yang bersamaku akan kabur terbirit-birit sambil mengeluarkan kata-kata menyakitkan yang bahkan menyakitiku lebih dari kesialan yang kumiliki."


Tanpa sadar, tangan kekar Shuu sudah mencapai pipi Miku.


Morning kiss itu tak terelakkan. Basah dan manis. Air keran yang bocor terus-menerus menerpa mereka berdua. Kemudian tawa meledak di ruangan itu.


"Kau tahu, Miku? apa yang lebih menyakitkan dari segalanya?"


Miku menyimak.


"Hidup membosankan tanpa tantangan. I mean, what else? Let me just die then." 


"Kau tahu, Shuu? Kurasa ungkapan lain dari The Luckiest Man in the World berarti, 'Masokis yang tidak beruntung'"


Alis Shuu bertaut.


"Apa maksudmu?"


"Berarti, kau sebenarnya orang yang tidak beruntung karena tidak menginginkan keberuntungan tapi malah mendapatkan keberuntungan." jabarnya luwes bak filsuf.


Shuu malah tertawa. Mengibaskan rambut Miku gemas.


"Try me, Miku."


***


"Watanabe-san, kulihat istrimu baru saja menyapa seorang pria di sebuah kafe." kata karyawan Shuu saat istirahat makan siang.


Bekal buatan Miku di depan ditatapnya lama. Telur dadar yang sangat manis. Sayur-sayuran yang belum dipotong. Nasi yang dikiranya adalah beras hitam bervitamin. Potongan-potongan ayam mentah yang masih pucat.


"Astaga-naga!" karyawan itu nyaris menjerit saking shocknya melihat menu bekal Shuu.


"Kau yakin masih waras kan, Watanabe-san?" tanya si karyawan skeptis.


Shuu masih enggan bersuara. Fokus ke sajian menjijikan di depannya.


"Para karyawan terus membicarakan perubahanmu yang menjurus ke arah gila sejak kau menikahi putri sial itu. Kau benar-benar jadi tidak normal sekarang."


Brak!


Shuu menggebrak meja membuat karyawan itu tersentak.


"Siapa pria yang ditemui Miku itu?" tanyanya dingin.


"Di-dia Kazuki Igarashi. Pesaing terberatmu. Perusahaan sebelah yang selalu berada satu tingkat di bawahmu." sahut si karyawan takut-takut. Baru kali ini dia melihat ekspresi mengerikan itu terpasang di wajah Shuu. Ia selalu saja melihat mimik tanpa beban yang enteng dan bersahaja. Dan ekspresi yang sekarang dia keluarkan benar-benar seperti berlian biru langka yang kalau dihitung-hitung bakal tak ternilai harganya.


Shuu berdiri dari bangkunya. Meninggalkan bekal dan karyawan yang memucat pasi.


Aura itu.


Dia bukan Shuu yang biasanya.


***


Malam itu tak sepatahpun keluar dari bibir mereka berdua. Masing-masing duduk di sudut ranjang. Membelakangi pasangan. Menuntut banyak hal dalam benak.


Malam itu, untuk pertama kalinya Shuu membenci kesuraman malam yang kelam.


Keran air yang masih menetes meski tukang leden sudah dipanggil pagi tadi. Embun malam yang dingin menempel di jendela. Suara-suara binatang malam yang mencicit-cicit mengganggu. Semua itu berkumpul bersama pikiran sepasang suami-istri yang tak sinkron dengan kenyataan.


"Aku mendengar tadi siang kau bertemu dengan seorang pria bernama Kazuki Igarashi." perbincangan dimulai oleh pihak Shuu yang mulai merasa kegelisahannya sudah mencapai puncak.


"Kudengar juga, kau bertemu wanita karir yang cantik bernama Eri Nishikino siang tadi. Bahkan membuang bekal buatanku ke tong sampah."


Perseteruan dingin itu terbongkar oleh mereka yang sontak membalikkan badan, menyerukan ketidak-setujuan atas pernyataan tidak berdasar masing-masing.


"Apa?! Kau pasti gila! Pria macam apa yang mau kutemui setelah berita kesialanku tersebar ke seluruh penjuru dunia?!" pekik Miku dengan tangan tersilang marah.


"Kau lebih gila, Miku! Wanita mana yang mau menemuiku setelah aku mengumumkan kau sebagai istriku?!"


"Hei, hei, hei! Pria beruntung akan selalu dicari-cari oleh wanita tau!" tantangnya. Dia melangkah maju, naik ke atas kasur.


Shuu mendelik.


"Mereka semua menjauhiku Miku, setelah mereka tahu bahwa aku sudah terikat dengan wanita tersial di dunia sepertimu! Sahamku juga anjlok setelah tragedi berdarah di resepsi pernikahan kita bulan lalu!"


Sepasang mata Miku makin melotot tak percaya.


"Yak, yak, yak, kau baru saja mengatai istrimu sendiri dasar masokis keparat!"


Mereka sudah berdiri berhadapan di atas kasur. Saling menatap tajam ke arah masing-masing.


"Jadi kau benar-benar selingkuh, Miku?" suara Shuu perlahan melunak.


"Kau pasti bercanda Watanabe-san."


"Aku sungguh-sungguh bertanya!"


"Kazuki Igarashi hanyalah editor yang berniat menerbitkan buku buatanku. Itu saja."


Shuu sedikit terkejut, kemudian ada helaan nafas lega.


"Ya Tuhan, cuma salah paham." Shuu menarik Miku mendekat. Hendak memeluknya. Tapi wanita itu malah menjauh.


"Jadi bagaimana dengan Eri Nishikino?" kali ini Miku yang menuntut jawaban.


Kening Shuu berkerut.


"Eri Nishikino?"


"Hai!"


"Siapa dia?" tampang Shuu benar-benar menggambarkan ketidaktahuannya akan sosok Eri Nishikino yang dibicarakan.


"Jangan pura-pura bodoh Watanabe-san. Rumor tak akan dengan begitu konyolnya dibuat jika tak ada objek sasaran."


"Aku bahkan tak pernah mendengar wanita bernama Eri Nishikino! Jangan bercanda kau nyonya Watanabe!" suara Shuu mulai terdengar sengit.


Miku tampak terheran-heran.


"Tunggu dulu Miku, kata karyawan yang kutemui tadi siang, Kazuki Igarashi adalah bos perusahaan sainganku. Itu berarti dia bukanlah seorang editor! Hei kau berbohong!"


Miku makin tersudut. Ia semakin bingung. Ada yang salah. Benar-benar ada yang salah dengan keadaan ini.


"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Miku ketakutan. Matanya menjalar kesana kemari.


"Damn it. Apakah kau merasa kita telah dipermainkan oleh si penulis yang menulis kita, Miku?"


"Tak akan ada orang yang selalu beruntung di dunia ini, begitupun sebaliknya. Dia telah menghancurkan sebuah realita."


"Dia membolak-balikkan fakta, menghancurkan cerita dengan semena-mena." ungkapnya marah.


"Jadi kau merasa, kita berada di dalam sebuah buku? Kita hanya karakter utama ini dan itu. Di sebuah fiksi remaja dimana si pria yang sempurna mendapatkan wanita yang hidupnya menderita, begitu maksudmu?"


Shuu mengangguk mantap.


"Mau protes?" usul Miku dengan kerlingan yang menyuarakan ide-ide jahil.


"Apa yang harus kita lakukan untuk membuatnya sadar?"


"Kita harus membunuh si penulis tentu saja."


Lalu mereka saling pandang dan tersenyum.


END


Miku menghela nafas panjang melihat tulisan absurdnya berakhir juga. 


Lalu seiring tangannya yang mengirim cerita itu ke editor kesayangannya Shuu, yang selalu mencari cela di tulisan-tulisannya, saat itu juga dia mengakhiri nyawanya sendiri dengan tembakan telak ke kepala.


Dengan syair ratapan terakhir yang dia tulis pada subjek email yang dikirimnya.


"Jika bagimu tulisan tabu yang membosankan menarik perhatianmu, maka kusampaikan secarik kertas abu-abu yang kosong di dalam lacimu yang berdebu"


***END***


Created by: Fhyra

Wattpad: vhyrapabbo

Mind to stop by my another blog: fhyrafirus.wordpress.com

Xoxo, 

Vhyra Pabbo